Kamis, 14 November 2013

Esai Modernisasi Menggeser Permainan Budaya Bangsa

              Dalam usia anak-anak bermain merupakan sebuah kegiatan yang menarik, tidak kalah membosankan dengan kegiatan makan. Bermain didefinisikan bersenang-senang ria sendiri dengan sebuah media bermain atau dengan kawan, sanak saudara demi mendapatkan sebuah rasa senang dan saling menghargai atas hasil dari permainan itu sendiri. Permainan yang berkembang di lingkungan masyarakat merupakan sebuah hasil budaya masyarakat atau bahkan bangsa yang turun-temurun lestari di masyarakat. Bermain yang positif memiliki kegunaan sebagai media untuk melatih konsentrasi, menghilangkan stres, menstabilkan emosional dalam diri kita, memberikan oksigen kepada otak yang telah lama bekerja, mempererat persaudaraan, mempererat pertemanan antar sesama sekaligus ikut melestarikan budaya leluhur kita. Sebuah fakta dari permainan yaitu apabila permainan yang dilakukan langsung praktek di lapangan berfungsi untuk melatih konsep kinestetik otak kita, di samping dapat dikatakan olahraga kecil, juga sebagai media membuang rasa penat kita.
             Sebuah permainan go back to the door (kembali ke pintu), atau yang lebih populer sesuai pengucapan  lidah orang Indonesia yaitu permainan gobak sodor, permainan ini biasanya dimainkan oleh kalangan anak-anak desa di sepetak sawah yang sudah selesai dipanen, dalam permainan ini terlihat jelas strategi yang harus digalakan oleh kelompok penyerang dalam menembus pertahanan pintu-pintu yang dijaga kelompok bertahan, saling koordinasi tiap anggota sangat penting dalam mengelabui kelompok bertahan. Saling berbeda sifat masing-masing anggota menuntut sebuah tim harus bisa meleburkan diri menjadi satu kesatuan persaudaraan untuk memenangkan permainan ini. Tak jarang ada anggota kelompok penyerang yang menghindar dari sentuhan kelompok bertahan hingga terjatuh dan terguling mengundang gelak tawa semua pemain, rasa persaudaraan, pertemanan yang erat mengikis habis arti dari sebuah menang dan kalah dari permainan ini.
            Bermain gundu atau kelereng siapa yang belum tahu bentuk permainan ini? Hanya membutuhkan beberapa butir kelereng dan sedikit keterampilan menembak sasaran dengan jari jemari kita, kita sudah bisa dikatakan memainkan permainan ini, tidak jarang orang tua dan remaja ikut andil dalam permainan yang sangat familiar ini. Setiap peserta bersaing mendapatkan buah sebanyak banyaknya yang telah mereka pasang di tengah. Dengan keteguhan rasa persaudaraanlah permainan ini dapat tetap lestari di masyarakat desa yang kukuh. Permainan lain yang satu paket dengan permainan yang sudah disebutkan diatas yaitu permainan dakon, benteng,  gasing panggalan dari kayu, jedoran dari bambu, uku lele, bintang tujuh, permainan tersebut dimainkan saat musim masing-masing permainan tiba dan sangat melekat di lingkungan masyarakat. Dibalik permainan tersebut banyak sekali rasa persaudaraan, tradisi budaya yang tertumpah dalam memainkannya, rasa saling menghargai, menghormati antar peserta apalagi jika jenis permainan yang dimainkan diikuti oleh bermacam macam kalangan dari yang muda hingga yang tua, karena menitikberatkan untuk menjunjung tinggi kebersamaan.
            Seiring waktu, modernisasi terjadi di bidang teknologi informasi dan komunikasi, permainan tersebut dianggap kuno oleh masyarakat kota-kota besar, menjalar ke lapisan anak-anak pedesaan yang masih awam akan kemajuan ini. Dampaknya begitu drastis terlihat dalam hitungan di bawah tiga tahun modernisasi yang tidak diimbangi dengan sosialisasi di lingkungan masyarakat menyebabkan mulai lunturnya jati diri bangsa dalam mempertahankannya. Jenis permainan sekarang didominasi oleh permainan berbentuk software  dalam sistem komputer, dunia serba modern semua hanya perlu sekejap tanpa harus praktek, padahal kembali lagi sebuah permainan yang langsung praktek di lapangan memiliki usaha terselubung yaitu melatih konsep kinestetik otak kita. Jadi apabila semua permainan serba instan tanpa bisa kita lakukan secara konkret sama saja dengan berangan angan tanpa sebuah action yang pasti. Modernisasi mempersempit ruang gerak permainan klasik yang luhur dari masyarakat, diikuti perkembangan masyarakat yang kapitalis dan pragmatis, zaman berkembang dengan modern permainan serba modern, di mall sudah banyak bentuk permainan modern yang lebih menarik dan canggih daripada permainan klasik dahulu.
            Masyarakat berpendapat bahwa permainan klasik kurang praktis untuk bisa dimainkan di tempat yang sempit, memerlukan persiapan lama dan serba harus ribet, perlu waktu lama, peserta yang banyak. Permainan modern lebih praktis terutama yang berbentuk software, mudah didapatkan, tinggal di download di internet kita sudah bisa memulai memainkan, kita tidak perlu menunggu banyak peserta, tidak memerlukan tempat yang luas, sudah banyak terdapat di mall-mall besar di kota kota besar, mudah juga kita temui di Game Center, lebih menarik dan canggih. Game Center bermunculan di mana mana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang hiburan permainan. Masyarakat kota yang terprogram menjadi manusia yang sibuk bekerja sendiri, bermain sendiri, modernisasi menimbulkan manusia menjadi merasa mampu hidup sendiri, hal tersebut jelas awal pangkalnya permainan klasik mulai ditinggalkan karena permainan klasik didasarkan atas tujuan kebersamaan, mempererat persaudaraan namun alhasil modernisasi memiliki kebijakan lain. Masyarakat mulai bersifat seolah olah mandiri namun sangat cenderung mengerucut menjadi egoisme, hal ini sangat bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk zoon politicon (Aristoteles) yaitu makhluk sosial yang hidupnya sangat membutuhkan atau bahkan bergantung pada manusia yang lainnya. Sifat saling gotong royong masyarakat berkurang, waktu sudah dimonopoli oleh masing-masing orang untuk lebih menikmati bermain sendiri ketimbang bermain bersama.
Masyarakat yang tidak kukuh dalam menghadapi arus modernisasi akan ikut terbawa gaya hidup modern yang tidak pas karena kurangnya sosialisasi, permainan klasik masyarakat daerah seperti gobak sodor, gundu, uku lele, jedoran dari bambu, dakon, gasing panggalan dari kayu, benteng mulai ditinggalkan. Padahal begitu klasik dan khasnya permainan permainan tersebut di lingkungan masyarakat, permainan dakon yang terdiri dari tujuh lubang kecil yang mengenalkan kita bahwa dalam satu Minggu terdapat tujuh hari, pembagian biji biji dalam permainan dakon mencerminkan bagaimana kita mampu dan memiliki strategi membagi waktu dalam kehidupan sehari hari, permainan benteng dan gobak sodor yang mengenalkan kita betapa perlunya satu kesatuan, kekompakan, gotong royong dalam sebuah tim, permainan gundu atau kelereng yang mengenalkan kita akan rasa saling menghargai dan menghormati terhadap sesama ataupun yang lebih tua dan yang lebih muda. Permainan dahulu yang mayoritas dimainkan bersama di lingkungan masyarakat secara tidak langsung memberikan waktu sejenak bagi kita dari kesibukan bekerja untuk berkumpul bersama tetangga, teman, saudara. Landasan permainan-permainan klasik begitu sarat hal hal itulah yang mengajarkan manusia untuk menghargai sebuah budaya bangsa.

            Modernisasi mempengaruhi pola pikir masyarakat secara drastis, masyarakat harus bisa lebih proaktif menyaring budaya asing yang masuk dan berpadu dengan budaya yang terlahir dari jati diri bangsa, modernisasi bukan melupakan budaya bangsa tapi bisa memadukan dua budaya agar timbul keserasian dengan tidak meninggalkan ciri khas jati diri bangsanya. Setiap lapisan masyarakat harus bisa menjadi filter terbesar dalam perkembangan ini untuk menjaga stabilitas kehidupan masyarakat yang berkarakter luhur.

0 komentar:

Posting Komentar